9.11.11

INFO SERTIFIKASI GURU

Sertifikasi Guru tahun 2012 "bisa dilihat dan diakses langsung ke 

http://sergur.pusbangprodik.org/index.php?pg=listview

Sosialisasi Sertifikasi Guru

KEBIJAKAN SEPUTAR SERTIFIKASI GURU

Persyaratan

  1. Guru yang masih aktif mengajar di sekolah di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  2. Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang terakreditasi atau minimal memiliki izin penyelenggaraan.
  3. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas dengan ketentuan:
    • bagi pengawas satuan pendidikan selain dari guru yang diangkat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (1 Desember 2008), atau
    • bagi pengawas selain dari guru yang diangkat setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru harus pernah memiliki pengalaman formal sebagai guru.
  4. Guru bukan PNS pada sekolah swasta yang memiliki SK sebagai guru tetap dari penyelenggara pendidikan (guru tetap yayasan), sedangkan guru bukan PNS pada sekolah negeri harus memiliki SK pengangkatan sebagai guru dari Bupati/Walikota.
  5. Sudah menjadi guru pada saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditetapkan (30 Desember 2005).
  6. Pada tanggal 1 Januari 2013 belum memasuki usia 60 tahun.
  7. Memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
  8. Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang BELUM memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV apabila:
    • pada 1 Januari 2012 sudah mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru, atau
    • mempunyai golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a (dibuktikan dengan SK kenaikan pangkat).
Daftar calon peserta sertifikasi guru tersebut diurutkan berdasar kriteria berturut turut usia, masa kerja, dan golongan.

ARTIKEL  SERTIFIKASI GURU 

 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan para guru agar sertifikasi tidak hanya digunakan untuk mendapatkan tunjangan profesi. Dalam pidatonya pada peringatan hari guru nasional dan HUT ke-65 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Gedung Tenis Indoor Senayan, Jakarta, Kamis (2/12) malam, Presiden meminta agar para guru juga meningkatkan kualitas dan kompetensi melalui sertifikasi.
“Amanat UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, pembinaan guru di tanah air kita arahkan agar guru memiliki kualitas akademik,” ujar Presiden.
Kepala Negara berharap kehadiran guru yang semakin profesional akan mempercepat terbentuknya masyarakat Indonesia yang maju. Guru yang berkualitas, lanjut dia, diperlukan untuk memajukan pendidikan di Indonesia yang berdasarkan pada empat pilar, yaitu pendidikan berdimensi keimanan, keilmuan, keterampilan, serta pengembangan kepribadian.
Dalam pidatonya, Presiden menyatakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas guru melalui pembentukan badan baru di Kementerian Pendidikan Nasional setingkat eselon satu untuk menangani profesi guru dan jaminan mutu pendidikan.
Melalui pembentukan badan baru itu, menurut Presiden, para guru bisa mendapatkan pelayanan lebih baik untuk meningkatkan kualitas sumber daya. “Saya ajak guru untuk meningkatkan profesionalitas dan kompetensi demi melaksanakan tugas mulia ini dengan penuh dedikasi, ketulusan, dan niat tulus,” ujarnya.
Presiden di akhir pidatonya mengajak segenap pengurus PGRI untuk bersama-sama memajukan dunia pendidikan dan kualitas para guru. Sedangkan kepada Menteri Pendidikan Nasional serta Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Presiden meminta agar pengangkatan guru bantu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) segera dituntaskan sesuai dengan tahapan.
“Pastikan agar pemerintah dapat memenuhi jumlah PNS sesuai yang dan relevan dengan pemenuhan jumlah ideal formasi PNS,” demikian Presiden.

 =====================================================================

Oleh : Murni Ramli
Penulis adalah kandidat doktor di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan.
Sebagai wujud pelaksanaan UU Pendidikan no 22/2003, salah satu pasal dalam UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, PP no 19 tahun 2005 tentang standard pendidikan nasional dan Peraturan Mendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, pelaksanaan sertifikasi saat ini telah memasuki tahun kedua, dengan sedikit keterlambatan pada pelaksanaan tahap pertama di tahun 2006.  Sekitar 200 ribu guru yang rencananya akan disertifikasi pada tahun 2006 baru berhasil menjalani proses itu di tahun 2007, dan pemerintah juga merencanakan program yang sama terhadap 170.450 guru di tahun 2007.
Dalam Panduan Sertifikasi yang dikeluarkan oleh Mendiknas, target guru yang harus mengikuti program sertifikasi adalah guru-guru bergelar S1 atau D4.  Guru-guru tersebut berhak untuk menjalani proses sertifikasi dengan tahapan, yaitu menyerahkan berkas-berkas terkait dalam uji portfolio.  Jika seorang guru lulus uji ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik.  Apabila tidak lulus, maka diberi kesempatan memperbaiki portfolio, dan jika dalam uji yang kedua pun gagal, guru harus mengikuti Diklat Profesi Guru dengan kelulusan berdasarkan hasil ujian akhir.  Jika guru berhasil lulus dalam ujian akhir Diklat, maka dirinya berhak atas sertifikat pendidikan.  Bagi yang tidak lulus ujian Diklat dapat mengulangnya sebanyak 2 kali ujian, dan seandainya tetap tidak lulus, maka kasusnya dikembalikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.  Pengembalian ini tidak jelas apakah pihak Diknas diberi wewenang penuh untuk memecat guru bersangkutan atau memberikan training.

======================================================================

Menanti Proses Ideal Sertifikasi Guru

Oleh: Muhammad Yahya (Asesor pada LPTK Fakultas Tarbiyah UIN Alauddin Makasar)

Sejak UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) digulirkan, disertai tuntutan para guru untuk merealisasikannya, maka berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 18 tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan, UU itu kini telah terealisasi terhadap sebagian guru.
Namun faktanya, masih sebagian kecil dari guru yang masuk kuota, memenuhi syarat mengisi portofolio dan dapat menikmati peningkatan kesejahteraan.
Sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang sah terhadap guru sebagai tenaga profesional (UUGD pasal 1 butir (12)), dengan syarat kualifikasi pendidikan minimum yaitu Diploma-D4/Sarjana-S1.
Selain persyaratan itu, bagi yang ingin menjadi guru di seantero nusantara ini, persyaratan lain yang harus dipenuhi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pada penjelasan pasal 15, maka selain jenjang pendidikan, juga harus melewati program pendidikan profesi. Di akhir program pendidikan profesi dilakukan uji sertifikasi secara komprehensif yang mencakup tes tulis, tes kinerja dan self appraisal serta portofolio.

Tiga Jalur Sertifikasi Guru

Untuk mendapatkan pengakuan sebagai guru yang profesional, guru harus melewati salah satu dari tiga jalur yang dapat ditempuh oleh para guru.
Pertama, sertifikasi guru jalur portopolio, sedikitnya tiga unsur penilaian yang harus dipenuhi yang dikenal dengan unsur A, B dan C.
Adapun unsur A, meliputi tiga komponen, yaitu komponen kualifikasi akademik, pengalaman mengajar, serta perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Pada unsur ini, khususnya komponen kedua dinyatakan layak tidaknya dilanjutkan pemeriksaan terhadap portofolio yang bersangkutan jika terpenuhi atau tidak terpenuhinya syarat minimal masa kerja sebagai guru, atau peserta didiskualifikasi jika yang bersangkutan tidak mencapai masa pengabdian sebagai guru minimal lima tahun.
Selanjutnya unsur B mencakup empat komponen yaitu pendidikan dan pelatihan, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, dan karya pengembangan profesi. Adapun unsur C meliputi tiga komponen yaitu keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Ketiga unsur memiliki standar minimal kelulusan yang saling terkait. Jika unsur A tidak mencapai standar minimal, maka unsur lain terpengaruh. Unsur A harus mencapai skor 340 dan pada setiap komponen unsur A ini tidak bisa kosong, demikian juga unsur B harus mencapai skor minimal 300 kecuali pada daerah terkategori daerah khusus termasuk terpencil, hanya skor minimalnya 200, sedangkan unsur pendukung yaitu unsur C skor minimal tidak bisa nol.
Kedua, sertifikasi guru jalur PLPG yang sering juga disebut dengan jalur diklat. Jalur ini ditempuh jika skor portofolio yang bersangkutan tidak memenuhi standar kelulusan. Mereka yang mengikuti jalur ini selain costnya banyak, juga melibatkan banyak tenaga.
Lagi pula guru yang ikut diklat harus datang dari jauh dengan segala kemampuan tenaga dan biaya transportasi demi untuk sebuah cita-cita kesejahteraan. Diklat sangat menguras tenaga mereka, sebab selain mengikuti kegiatan kelas mulai pagi sampai larut malam, juga menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya dari setiap pemateri, sehingga nyaris tidak ada waktu bagi mereka untuk bersantai.
Ketiga, sertifikasi jalur pendidikan. Jika seorang guru dinyatakan layak dan bisa mengikuti pendidikan, maka ia harus mengikutinya selama dua semester dengan mata kuliah tertentu berdasarkan rumpun mata pelajaran yang diajarkannya di sekolah masing-masing dan mata kuliah yang berkaitan dengan kesuksesan proses pembelajaran.
Guru harus intens selama dua semester sehingga diharapkan kompetensi profesional betul menggambarkan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru, mulai dari jenjang pendidikan TK/RA, pendidikan dasar(SD/MI, SLTP/MTS) sampai pendidikan menengah (SMA/MA).

Diklat Ideal

Sebaiknyalah pelaksanaan diklat profesi guru (PLPG) juga sertifikasi jalur pendidikan tidak terfokus pada kota LPTK penyelenggara tetapi jika memenuhi syarat rombel (rombongan belajar) yang rasional di tempat lain, maka kegiatan PLPG sudah dapat dibagi berdasarkan region (wilayah) tertentu di bawah koordinasi instansi terkait di daerah sehingga nantinya hanya asesor yang berdasarkan kompetensinya yang akan mendatangi mereka.
Dengan jalan ini, selain mengirit biaya pelaksanaan, juga peserta diklat tidak merasa terbebani sampai harus menghabiskan biaya berjuta-juta rupiah hanya untuk suatu kegiatan sertifikat profesi guru.
Demikian juga untuk jalur pendidikan sebaiknya dilaksanakan pada setiap daerah kabupaten dalam wilayah rayon LPTK. Cukuplah pihak penyelenggara menyiapkan pemateri, kelengkapan belajar berupa modul materi pelajaran dan buku-buku yang relevan dengan profesi keguruan. Pihak yang terkait di daerah sebagai penyelenggara lokal sekaligus sebagai fasilitator.
Selain mempermudah pelaksanaannya, tidak terlalu jauh guru dari muridnya, juga akan mempercepat pelaksanaan sertifikasi profesi guru.

Tinjau Ulang Jalur Portofolio

Untuk mencapai tenaga guru yang profesional, tidak sekadar dengan memeriksa portofolio. Sebab dengan hanya melalui portofolio akan sulit mengukur tingkat kemampuan guru yang sesungguhnya. Bisa jadi skor portofolio yang bersangkutan lumayan bagus namun dari segi kemampuan masih perlu pembenahan.
Sementara ada yang sangat pintar, menguasai materi ajar dan dalam penerapan metode dan penggunaan media di kelas sangat tepat bahkan sangat antusias dalam menjalankan tugas profesinya sebagai guru, akan tetapi dari sisi kelengkapan portofolio skornya tidak memenuhi standar kelulusan.
Di lain sisi banyak waktunya guru di luar sekolah hanya untuk berburu dan mengumpulkan sertifikat/piagam sebagai bukti fisik portofolio, sehingga, kemungkinan banyak siswa terlantarkan.
Dengan sistem ini pula bisa menimbulkan keresahan di antara guru-guru, sebab guru yang antusias mengajar di kelas atau jarang meninggalkan murid/siswanya, akan sulit mengumpulkan piagam sebagai kelengkapan portofolio, sehingga tunjangan kesejahteraan sebagai tugas profesional tertunda, sementara yang suka di luar berburu piagam/sertifikat dan sering meninggalkan kelas, kini sudah lulus dan menikmati kelulusannya. Hal itu jelas sangat memungkinkan timbulnya fitnah, dan mungkin inilah juga yang memicu timbulnya penyakit stres di kalangan guru, yang akibatnya bisa berpengaruh pada kinerja guru. Kekhawatiran yang lain kalau dimanfaatkan oleh segelintir pekerja-pekerja pragmatis dengan jalan mengkomersialkan piagam/sertifikat kegiatan.
Sisi kelemahan yang lain jalur fortopolio yaitu pemberlakuan aturan dan standar penilaian yang disamakan untuk semua guru di seluruh Indonesia tanpa melihat letak georafis tempat bertugas mereka. Seharusnya membedakan ketentuan yang tinggal jauh di pelosok desa dengan yang tinggal di kota sebab sarana dan prasarana yang berkaitan dengan kebutuhan portofolio pasti sangat berbeda.
Ironisnya lagi, guru yang masa dinasnya sudah menjelang uzur, karena tidak memenuhi tuntutan undang-undang dengan standar kualifikasi pendidikan minimal, maka guru bersangkutan tidak akan cepat menikmati kesejahteraan profesi.
Adapun yang harus menjadi perhatian pihak pengambil kebijakan, yakni pengorbanan guru ketika hendak mengikuti diklat profesi guru, misalnya pengorbanan tenaga dan dana.

Perlunya Tes Kinerja Guru

Sebagian ahli berpendapat perlunya tes kinerja bagi guru dalam proses sertifikasi guru. Secara umum bentuk tes kinerja merupakan tes yang paling baik untuk mengukur kinerja seseorang termasuk untuk mengukur kinerja/penampilan guru dalam melakonkan pembelajaran dalam uji sertifikasi guru.
Tes kinerja dapat digunakan sebagai alat untuk mengungkap gambaran menyeluruh dari seluruh akumulasi kemampuan guru sebagai sinergi dari kemampuan kepribadian, pedagogik, profesional dan sosial (Muchlas Samani 2006:75).
Tugas profesi guru yaitu; guru harus mampu membangkitkan perhatian peserta didik dengan menggunakan media yang tepat, mengarahkan peserta didik untuk menggali sendiri ilmu pengetahuan atas bimbingan guru, harus mampu membuat urutan (sequence) kemampuan siswa, harus menyelidiki dan mendalami perbedaan kemampuan agar dapat melayani siswa sesuai perbedaannya, harus menyegarkan ingatan (kegiatan appersepsi), harus ada penguatan (repetisi) dalam pembelajaran, siswa dibiasakan menyimpulkan sebelum mengakhiri pelajaran, dan selalu tercipta suasana harmonis di dalam dan di luar kelas (Hamzah B Uno (2007:15)).
Sertifikasi guru jalur pendidikan, PLPG dan tes kinerja inilah yang harus dikembangkan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi, sebab selain mempercepat selesainya antrean guru untuk disertifikasi, juga mengurangi resistensi dan stres guru dalam memikirkan kelengkapan portofolionya. Lagi pula lebih efektif dan lebih terarah pada pengembangan guru sebagai tugas profesi yang bersertifikat.

================================================================


 Desakan agar program sertifikasi guru ditinjau ulang,  kembali mengemuka. Desakan itu bukan tanpa sebab. Program yang sudah berjalan empat tahun ini belum sesuai dengan tujuan awal. Praktik di lapangan menguatkan temuan itu. Menurut survei PGRI, kinerja dan motivasi guru bersertifikasi justru lebih rendah dibandingkan dengan yang belum lolos. Mereka hanya berjuang dengan cara-cara instant untuk mendapatkan sertifikasi, namun tidak ada perubahan dan peningkatan signifikan kemampuan dan kualitasnya.Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru tidak hanya diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, tetapi juga kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional. Sertifikasi menjadi terobosan untuk mendongkrak mutu pendidikan dan kesejahteraan guru. Sampai 2009 sekitar 400.450 guru masuk program ini, 361.460 di antaranya lulus. Pendidik adalah bagian dari pekerjaan profesional. Maka hak-hak dan kewajibannya diatur secara profesional agar mampu mengabdi total pada profesinya.
Hasil survei itu memperkuat dugaan sebagian  masyarakat bahwa program ini bisa berkecenderungan menjadi ”proyek” formalitas. Sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan.
Lembaga penyedia jasa seminar dan workshop pun menjamur, merespons kondisi ”gila” sertifikasi. Antusiasme guru yang mengejar sertifikat dimanfaatkan. Proyek sertifikasi ini berisiko mengikuti hukum pasar: setiap ada permintaan maka ada penawaran. Bahkan para guru berani membayar berapa pun untuk ikut kegiatan seminar atau lokakarya pendidikan, meskipun hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Padahal jika program ini berjalan sesuai konsep awal, alangkah hebatnya masa depan pendidikan kita.

=================================================================

Oleh : Yaya Suherman 

(guru SDSN Jatimakmur V Pondokgede Bekasi)

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen (UU no 14 pasal 1 ayat 11). Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional (UU no 14 pasal 1 ayat 12)
Sertifikasi guru dan dosen harus selesai 10 tahun. Selembar kertas kok dibuat repot jadi UU ! Cuplikan di atas adalah celetukan POJOK Harian Kompas, Kamis 8 Desember 2005. Lucu dan spontan memang. Sampai saat ini (2010) sudah berjalan lima tahun proses pemberian sertifikat yang katanya untuk meningkatkan profesionalisme guru dan dosen, setengah perjalanan sudah dilalui. Apakah sudah ada tanda-tanda guru dan dosen Indonesia yang professional? Pertanyaan tersebut, sebenarnya menyiratkan adanya persoalan mendasar dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang telah berjalan lima tahun ini .
UU Guru dan Dosen mengharuskan guru lebih profesional. Profesionalisme guru ditunjukkan oleh selembar sertifikat. Untuk itu guru harus mengikuti program sertifikasi. Pada saat UU ini disahkan oleh wakil guru dan dosen (ratyat khusus) di DPR belum ada satu pun guru yang memiliki sertifikat pendidik, maka saat ini, menurut UU, tidak satu pun guru, termasuk dosen dan seorang profesor sekalipun, yang sudah profesional! (lihat Pasal 47 Ayat 1 c, Pasal 48 Ayat 2).
Guru wajib memenuhi kualifikasi dan sertifikasi paling lama 10 tahun sejak berlakunya UU ini. Jika tidak terpenuhi, maka guru harus berhenti mengajar. Kata Mendiknas saat itu, ”Sekarang ini belum ada guru yang memenuhi ketentuan karena aturannya baru dibuat. Kita beri waktu. Jika dalam sepuluh tahun itu masih belum ada yang memenuhi, ya apa boleh buat. Berarti, memang dia tak memenuhi persyaratan sebagai guru dan harus berhenti mengajar”. Wow..luar biasa bayangkan kalau seorang guru yang sudah mengabdi lama karena tidak sanggup untuk memperoleh sertifikasi harus berhenti jadi guru…?
Tampaknya, sertifikasi bakal dijadikan senjata pamungkas oleh pemerintah untuk menjawab persoalan mutu dan kesejahteraan guru di Indonesia. Dengan mengantongi “selembar kertas” sertifikat pendidik, guru diyakini akan terdongkrak profesionalismenya dan otomatis terdongkrak pula kesejahteraannya, karena akan menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok guru negeri. Semudah itukah skenario pemerintah dapat dilakoni oleh para guru?